ABSTRAK

Pada tahun 2010 pengeluaran TI di dunia mencapai $ 3,43 triliun, sedangkan pada tahun 2011 Gartner (2011) memperkirakan pengeluaran tersebut mencapai $ 3,69 triliun. Pertanyaan yang muncul adalah apakah pengeluaran TI yang meningkat tersebut menghasilkan nilai ekonomis yang sesuai. Pembentukan Service Desk merupakan salah satu bentuk pengeluaran TI. Kecenderungan yang ditemui saat ini adalah pihak manajemen menempatkan Service Desk hanya sebagai fungsi pendukung dalam pemenuhan kebutuhan layanan TI. Pihak manajemen kurang memahami peranan Service Desk salah satunya dikarenakan tidak adanya informasi seberapa besar nilai ekonomis yang sudah diperoleh dengan adanya pembentukan Service Desk. Pihak manajemen juga belum membandingkan nilai ekonomis yang diperoleh dengan biaya yang dikeluarkan sehingga mereka tidak mengetahui layak tidaknya pembentukan Service Desk secara finansial. Dalam karya akhir ini, penelitian dilakukan untuk mengukur kelayakan finansial pembentukan Service Desk Corporate Shared Service (CSS) di kantor pusat PT Pertamina (Persero). Metode yang digunakan adalah Ranti’s Generic IS/IT Business Value Table dengan pendekatan ITIL V3 dalam menentukan manfaat bisnis yang diperoleh dari layanan Service Desk pada tahun 2011. Pengkuantifikasian yang dilakukan terhadap setiap manfaat bisnis berujung pada didapatkannya total nilai ekonomis. Kelayakan finansial pembentukan Service Desk dapat diketahui dengan cara membandingkan total nilai ekonomis dengan biaya yang dikeluarkan. Apabila total nilai ekonomis lebih tinggi daripada biaya maka Service Desk dinyatakan layak secara finansial, begitu juga sebaliknya. Setelah dilakukan penelitian, total nilai ekonomis yang dihasilkan oleh Service Desk adalah sebesar Rp 7.579.581.976. Pembentukan Service Desk layak secara finansial jika nilai ekonomis dibandingkan dengan Anggaran Biaya Operasi (tanpa upah pekerja) setelah dipotong Absorbed Cost yang berjumlah Rp 6.359.902.439. Di lain pihak pembentukan Service Desk tidak layak secara finansial jika nilai ekonomis dibandingkan dengan Anggaran Biaya Operasi (dengan upah pekerja) setelah dipotong Absorbed Cost yang berjumlah Rp 13.499.234.341. Menyikapi kondisi ini, pihak manajemen perlu untuk mengambil langkah-langkah peningkatan nilai ekonomis.